Lanjutan I
Suatu hari di pagi yang cerah ini, aku berjalan-jalan di
sekitar rumah kemudian Fahmi menelepon dan meminta kita bertemu di rumahnya.
Aku pun sorenya kesana dan bertemu dengannya.
“Jujur nih
Dan, gue udah gak kuat bertahan di bimbel itu, gue pengen ngundurin diri aja
deh”. Katanya memulai pembicaraan.
“Kok gto mi?
lo lupa sama komitmen kita? Jangan sekali-kali menyerah dengan keadaan, kata ka
Arif juga kalo udah masuk ya gak boleh keluar, karena lo udah diberi kesempatan
buat bimbel gratis gak semua orang dapet loh mi”. Ujarku “kesempatan gak datang
dua kali mi, coba dipikirin lagi deh”. Aku menambahkan.
“gak bisa
Dan, mungkin gue harus keluar secara perlahan. Gue kan gak kaya lo dan yang
lainnya Dan, pada pinter. Nah, gue? Biasa aja bahkan ngisi soal Mtk aja salah
mulu”. Keluhnya. Sepertinya dia mulai merasa kesal dan pasrah dengan keadaannya
ini.
“Ya gue sih
gak bisa mencegah lo mi, Cuma bisa menyarankan doang, yaudah deh kalo lo maunya
begitu semua keputusan ada sama lo mi”. Kataku. Akhirnya aku memutuskan untuk
pergi.
“Yaudah Dan,
thanks ya udah maen ke rumah dan ngedengerin keluh kesah gue, semoga langkah
apapun yang gue ambil itu udah yang baik buat gue, amiin”.
Aku berlalu
dan berjalan menyusuri jalanan gang-gang perkotaan yang semakin lama, semakin
sempit saja gang ini. Karena disana-sini sudah dibangun berbagai perumahan,
rumah warga, dan keperluan yang lainnya sehingga menimbulkan ketegangan baik konflik
social maupun konflik secara ekonomi. Inilah resiko yang harus ditanggung oleh
rakyat, ketika pondasi ekonomi belum kuat dan memutuskan untuk menikah atau
lebih dikenal dengan pernikahan dini. Berita ini bukan kabar angin lagi,
pernikahan dini terjadi disana-sini, bahkan teman-temanku yang baru saja lulus
SMA tahun yang sama denganku banyak yang menikah, terutama sekali yang
wanitanya. Tidak habis pikir memang, teman yang sebangku denganku, bercanda
tawa dengan riang, menikmati kebebasan masa mudanya justru harus direnggut
dengan pernikahannya dengan seorang lelaki yang terkadang tidak benar-benar ia
cintai, dalihnya sebagai pelengkap iman dalam islam atau menyenangkan orang tua
atau bahkan karena si lelakinya kaya raya. Alasan kedua dan ketiga lebih umum
terlihat dalam pernikahan dini ini. Pikiranku melayang-layang jauh hingga
kemasalah pernikahan dini padahal aku tidak kepikiran sama sekali dengan
pernikahan bahkan siapa yang menjadi istriku kelak pun tidak aku pikirkan.
Rutinitas
pagi seperti biasanya, bimbel dengan senang hati aku jalani dan semangat. Tapi
ada perbedaan disini, Fahmi mulai malas-malasan ketika aku samper untuk
berangkat bersama mungkin inilah strateginya untuk keluar dari bimbel, bahkan
lebih sering tidak masuk bimbel. Lama kelamaan hanya satu minggu saja masuk, minggu berikutnya
dia tidak masuk sama sekali dengan alasan selalu sakit. Aku yang mengetahui
alasan bohongnya hanya bisa terdiam dan berbohong kepada yang lain. tidak
masalah demi kebaikannya. Akhirnya semua menyadari dan merasa kehilangan Fahmi.
Setelah beberapa bulan berlalu kami mulai terbiasa dengan ketidakberadaan Fahmi
di kelas. Kami tersisa enam orang yaitu, Aku, Raka, Rohman, Ketty, Denis, dan
Fatimah. Suatu hari ada murid baru di tempat bimbelku, dia bernama Dinda. Entah
mengapa aku tertarik dengan namanya, karena waktu itu namanya sampai duluan
sebelum orangnya kabar angin ini membuat ekspektasi ku melayang jauh, aku
berpikir jika dia cantik akan aku pacari. Bukan, maksudku jika dia mau akan aku
pacari. Karena si Raka telah berpacaran dengan murid bimbel yang lain Sekar
namanya. Murid satu-satunya di tempat bimbel kami yang berasal bukan dari
sekolah kami. dan sore hari tiba, Dinda datang dengan Ka Ihsan, pengurus bimbel
juga.
Ternyata dia
jauh dari harapan berlebihku, dia terlihat lugu, pendiam, mungkin karena dia
berkerudung panjang, bentuk fisiknya agak kurus bahkan memang kurus mungkin dia
belajar terus setiap malam atau terlalu banyak pikiran dengan soal-soalnya
untuk menempuh ujian perguruan tinggi ini. Pikiran tentang hal itu sangat
menggelitik ku, karena tanpa aku sadari, setelah dipikir kembali, Dinda ibarat
cerminan fisik diriku sendiri. Aku kurus, jangkung, dan berpipi agak cekung,
karena faktor kurang makan dan terlalu mendapat tekanan dari ibu tiriku. Aku
memang memiliki ibu tiri yang galak dan payah. Aku mulai bisa merasakan bentuk
fisiknya. Kami berkenalan dengannya dan suaranya sangat kecil sekali, logat
sundanya masih kental sekali, maklum dia dari Surade, Jawa Barat.
Kami mulai
belajar bersama dan semakin serius karena sesaat lagi ujian akan tiba tinggal
beberapa bulan saja. Pertemanan semakin dekat dan dekat, tidak ada lagi
perbedaan antara kau, kita, dan aku semua berbaur menjadi satu keluarga besar
yang dinaungi oleh tempat bimbel ini. Kisah cinta Raka dan Sekar bergejolak
kadang rendah, kadang tinggi tensinya, semua itu kami lalui dengan sangat
akrab. Murid bertambah satu tapi yang keluar pun satu, jadi seimbang tapi yang
menambah bukan dari sekolah kami tapi dari sekolah yang lain. Tidak lama setelah
masuknya Dinda dalam kelas kami, Rohman mulai keteteran dalam belajar. Mulai
tertinggal dan sering kali pasrah tidak mengikuti pelajaran, hanya menenangkan
diri sesekali. Lama kelamaan dia pun keluar dengan berangsur-angsur intensitas
masuknya semakin jarang dan sama sekali tidak masuk.
Sepeninggal Rohman, jumlah kami tersisa tujuh
orang. Beberapa kali kita mengikuti try out dan hasilnya terkadang masih jauh
dari harapan, kadang pula bernilai baik. Pelajaran kami lalui dengan riang
gembira. Suatu malam, aku berniat menginap di tempat bimbel. Aku berjalan dari
rumah jam 08:00 malam, diperjalanan aku bertemu Kannti. Dia gadis yang selama
ini aku sukai, tapi masih SMP sedangkan aku telah lulus SMA. Aku mengenalnya
sejak ia kecil, sekarang ia telah SMP dan menampakan wajah manisnya. Bunga
mulai merekah.
Bersambung (II)