Bagian I
“Bangun… Bangun… Kamu gak kuliah ?.” Suara Ibu mengagetkan
mimpi indahku.
Bukannya
merespon apa yang dikatakan oleh Ibu aku malah tetap berbaring dan menguap
dengan malas, “tidak bu, ini kan hari sabtu.” Jawabanku menutup percakapan pagi
itu. Aku berpikir ada apa pagi ini? Ini kan hari sabtu. “krrriiiiiiing…
kriiiiiing..” suara SMS masuk ke HP ku, dengan malas aku bangun dan mengambil
HP. Setelah membuka kunci HP, aku menerima enam pesan. Dua dari teman kampus,
empat dari temanku Dinda.
“Eh, cepetan
ke terminal, katanya ka Reni udah jalan tuh..” Itulah bunyi SMS salah satu
pesan Dinda. Aku panik bukan main, bingung mau melakukan apa. Sekarang sudah
jam 08:02 sedangkan belum ada yang aku persiapkan sama sekali. Ah, iya aku lupa
jika hari ini kita memiliki rencana akan jalan-jalan ke Bandung, ah, tidak,
Taman Safari Bogor, sepertinya tidak juga, entahlah. Daripada aku memikirkan
itu lebih baik aku bergegas ke kamar mandi.
“Mau kemana
A?.”
“Mau mandi
lah Tin, emang kenapa tumben nanya.” Ucapku.
“Nggak ada air tau a, orang mati
lampu. Makanya nanya.” Adik ku menimpali.
“Hah? Masa? Yaudah lah.” Aku langsung
berpikir keras, dimana aku harus mandi dan bayangan rumah Lukman tetanggaku
terlintas, yah, rumah Lukman yang adiknya adalah sahabatku sejak kecil, Sarah.
Dengan muka masam dan masih sangat mengantuk karena aku begadang semalaman,
baru tidur jam 01.09 dini hari.
“Mpok, saya mau numpang mandi ya?
Soalnya di rumah mati lampu.” Tanya ku kepada Mpok Iroh, kakak tertua dari
keluarga Sarah.
“Boleh, silakan Dan, masuk aja. Tapi
disini mah nimba.” Jawabnya. Memang keluarga ini ditengah modernisasi peralatan
dan hampir semua orang menggantungkan hidupnya kepada mesin, keluarga ini
tidak. Mereka hidup sederhana, rumah sangat biasa, dan sumber air masih
menggunakan pompa air. Aku memompa air ke dalam bak hingga penuh dan memulai
mandi, diluar terdengar suara ibu yang mengobrol dengan Mpok Iroh, jelas ibunya
Sarah, dia mengatakan bahwa aku sedang mandi, dan ibu sangat senang bahkan
memberikan pelayanan yang membuatku merasa terhormat, beliau menyodoriku sampo,
sabun, dan yang lainnya, padahal aku sudah membawanya dari rumah.
“Terima kasih, Bu, Mpok.” Setelah
selesai mandi aku langsung berlari ke rumah dan segera memakai pakaian. Dan hal
lucu atau bodoh yang aku lakukan pertama adalah aku langsung menyari setrikaan,
kemudian menyolokannya. Beberapa menit aku menunggu ‘kok lampunya tidak
menyala’ pikirku. Dengan menunggu panas aku mengenakan celana dan membereskan
barang-barang yang akan dibawa, aku membawa dua baju ganti. Setelah itu aku
mulai nyetrika, ‘kok tidak panas-panas, mana bajuku masih kusut belum
disetrika’. Dengan bodoh aku menjawab ‘inikan mati lampu, kenapa lo mau
nyetrika, dasar tolol!’ ya ampun, kadang pikiranku satu sama lain saling
menjawab. Benar kata pikiranku yang lain bahwa ini mati lampu, aku saja mandi
di rumah orang.
Aku segera beranjak pergi,
menggendong tas dan berjalan sangat cepat menuju terminal Depok. Lagi-lagi aku
menjadi perhatian pejalan kaki yang lain. bagaimana tidak ketika aku berjalan
seperti orang kesurupan, jalanku bagaikan terbang saja. Aku berjalan
meliak-liuk kesana kemari, menghindari pejalan kaki yang lain dalam waktu 10
menit aku sampai. Dimana mereka, tidak tampak mereka bilang sudah sampai di
depan ITC Depok. Aku bolak balik membuka SMS yang masuk dan membalas Whatsapp
dari mereka, setelah aku menjawab semua mereka tidak membalas lagi. Aku merasa
dicurangi dan dipecundangi, karena aku sudah bersusah payah datang dengan
langkah hampir terbang, mandi yang terburu-buru, pakaian kusut, dan sweeter
yang lembab, dan sekarang mereka membohongiku. Sungguh malang nasib ini, ah,
tidak malang terlalu berlebihan.
Hand phone ku berdering, panggilan
dari ka Reni, “Heh, Dodol, lo dimane? Gue nungguin lo dari tadi di depan ITC lo
malah baru dateng, kita lagi di dalem terminal lagi makan bubur.” Cetusnya.
‘tuuuutt… tuuuut’ telfon putus.
Baiklah akan aku cari ke dalam dan
aku berpikir dimana tukang bubur itu, aku sangat frustasi mencari mereka, hari
sudah sangat panas apalagi suasana terminal yang ramai dan penuh dengan
kendaraan, membuat pagi yang cerah ini berlumuran keringat mengucur. Aku
mengancam mereka. Aku membuat pesan “Dimana sih kalian ? tukang bubur di
terminal itu banyak, gue pulang aja deh, kalo begini mah.” ‘Sent’. Mungkin aku
egois sangat egois. Aku sudah enak tidak bersusah bangun sangat pagi, tidak
seperti mereka yang bangun pagi dan buru-buru pergi ke Depok. Karena mereka
tinggal di Ciledug dan Kalideres, Jakarta. Sebenarnya itu bukan pesan
sesungguhnya, hanya sebagai gertakan agar mereka menampakan diri, karena
sepertinya mereka sudah marah dan berdiam diri sehingga harus aku yang usaha
mencari mereka.
Tidak lama kemudian panggilan masuk,
percakapan terlihat alot karena satu sama lain tidak mengetahui dimana mereka
berada, akhirnya ka Reni menampakan diri dan kami bertemu. “lo ngeselin ya,
kita udah lama nungguin lo, eh malah lo mau pulang, dassaar!.” Celoteh Reni.
Bombardiran pernyataan berlanjut “Tau nih, lo bukannya bersukur gak nyamperin,
kita yang nyamperin. Malah gue tombok telfonin lo, sms dan yang lainnya.” Dinda
membom dengan kata-kata yang sedikit kesal. Aku hanya bisa tersenyum kepada
mereka karena ya, bagaimana lagi, memang begini adanya.
Walaupun aku di bombardir dengan
pernyataan yang mungkin bagi orang lain tidak enak, tapi aku tidak. Karena kita
sudah lama dan dekat satu sama lain. kita sudah bersahabat sejak empat tahun
silam. Kami bertemu 2010 yang lalu.
“Iya, kalian hebat. Gue minta maaf,
tadi di rumah gue mati lampu, gue mandi di rumah orang dan ngasal. Gue juga
semalem begadang jadi bangun kesiangan. Gue lupa kalo kita mau jalan-jalan
liburan.” Diselingi senyum dan ketawa kecil aku membela diri. Dan pembelaan
membawa dampak lain, ada aja yang membuat aku tersudut.
“Apa lo bilang ‘begadang? Lupa kalo
ada jalan-jalan?’ keterlaluan! Kita udah menyiapkan dari semalam lo malah
santai-santai.” Entah kenapa bukannya merasa bersalah dengan marah mereka
justru aku semakin tertawa lebar dan terkikik. Mereka pun ikutan ketawa dan
kami memang sangat cair tidak ada rasa tegang, walaupun kami sedang marah satu
sama lain. singkat cerita, kami sudah naik MGI Depok-Bandung. Awalnya mau naik
travel tapi tidak sampai terminal.
Sesampainya di terminal Leuwipanjang,
Bandung. Yang kami buru pertama kali adalah toilet, kalau kata Dinda nama
lainya adalah jamban. Karena mungkin dia sangat dekat dengan benda tersebut.
setelah berbersih diri kami bingung mau kemana, Trans Studio Bandung katanya
jauh dan sekarang sudah sore, ke Ciwidey, Kab. Soreang juga sama jauhnya.
Akhirnya kami berjalan-jalan menyusuri jalanan Bandung mencari makanan,
ujung-ujungnya kami makan di warteg juga. Karena mencari tempat makan yang lain
tidak ada.
Memang wanita tidak bisa diandalkan
untuk membuat keputusan, setiap kali aku bertanya ‘mau kemana’ jawabannya
selalu ‘tidak tahu atau bingung’. Jika begini caranya kita akan menjadi marbot[1]
atau bisa jadi menjadi gelandangan terminal (gembel). Itu hanya bayangan kami
bertiga saja yang frustasi menentukan mau kemana kita pergi, benar-benar
perjalanan yang tanpa persiapan. Aku memutuskan pergi ke Ciwidey, Kab. Soreang.
Kami sampai di Ciwidey. Dan gejala bingung
kembali menggelayuti, kami berjalan menyusuri jalanan mencari penginapan atau
hotel, sempat kami mendapat hotel tapi untuk satu malamnya sangat mahal bagi
kami. akhirnya kami mencari bantuan bertanya kepada tukang ojeg dan minta diantarkan
ke penginapan yang harganya relatif. Kami tawar menawar harga untuk diantarkan
kesana, “yaudah harganya Rp. 7.000 saja. Karena harga ini bagi kami murah, jika
di bandingkan mengojek di Depok atau Jakarta, jadi kami langsung menyetujuinya.
Kami tidak memiliki uang pas, jadi aku membayar Rp. 10.000 dan temanku satu
motor berdua Rp. 15.000 karena sudah memberikan info hotel yang murah kami
menolak untuk diberi kembalian dan sepertinya kedua tukang ojeg ini tidak
berniat memberikan kembalian. Setelah sampai ternyata dekat, dengar-dengar jika
naik angkot hanya membayar Rp. 4.000, bahkan aku sendiri membayar Rp. 10.000
temanku Rp. 15.000 total Rp. 35.000, jumlah yang sedikit memang, tapi entah
kenapa aku merasa sedikit ganjil jika dibandingkan ongkos angkutan yang hanya
Rp. 4.000 per orang total yang akan dikeluarkan Rp. 12.000, jauh dari total
pengeluaran yang pertama. kami tertipu atau kami terlalu baik, aku berpikir
‘yasudahlah, anggap saja ini sedekah’. Sampai juga ke penginapan yang harganya
lumayan murah. Kami menyewa satu kamar untuk tiga orang. Kamar yang nyaman dan
dingin, suasana puncak memang seperti ini
0 komentar:
Posting Komentar