Minggu, 23 Juni 2013

Anda Menipu, Aku Sedekah

Bagian I         
            “Bangun… Bangun… Kamu gak kuliah ?.” Suara Ibu mengagetkan mimpi indahku.
            Bukannya merespon apa yang dikatakan oleh Ibu aku malah tetap berbaring dan menguap dengan malas, “tidak bu, ini kan hari sabtu.” Jawabanku menutup percakapan pagi itu. Aku berpikir ada apa pagi ini? Ini kan hari sabtu. “krrriiiiiiing… kriiiiiing..” suara SMS masuk ke HP ku, dengan malas aku bangun dan mengambil HP. Setelah membuka kunci HP, aku menerima enam pesan. Dua dari teman kampus, empat dari temanku Dinda.
            “Eh, cepetan ke terminal, katanya ka Reni udah jalan tuh..” Itulah bunyi SMS salah satu pesan Dinda. Aku panik bukan main, bingung mau melakukan apa. Sekarang sudah jam 08:02 sedangkan belum ada yang aku persiapkan sama sekali. Ah, iya aku lupa jika hari ini kita memiliki rencana akan jalan-jalan ke Bandung, ah, tidak, Taman Safari Bogor, sepertinya tidak juga, entahlah. Daripada aku memikirkan itu lebih baik aku bergegas ke kamar mandi.
            “Mau kemana A?.”
            “Mau mandi lah Tin, emang kenapa tumben nanya.” Ucapku.
“Nggak ada air tau a, orang mati lampu. Makanya nanya.” Adik ku menimpali.
“Hah? Masa? Yaudah lah.” Aku langsung berpikir keras, dimana aku harus mandi dan bayangan rumah Lukman tetanggaku terlintas, yah, rumah Lukman yang adiknya adalah sahabatku sejak kecil, Sarah. Dengan muka masam dan masih sangat mengantuk karena aku begadang semalaman, baru tidur jam 01.09 dini hari.
“Mpok, saya mau numpang mandi ya? Soalnya di rumah mati lampu.” Tanya ku kepada Mpok Iroh, kakak tertua dari keluarga Sarah.
“Boleh, silakan Dan, masuk aja. Tapi disini mah nimba.” Jawabnya. Memang keluarga ini ditengah modernisasi peralatan dan hampir semua orang menggantungkan hidupnya kepada mesin, keluarga ini tidak. Mereka hidup sederhana, rumah sangat biasa, dan sumber air masih menggunakan pompa air. Aku memompa air ke dalam bak hingga penuh dan memulai mandi, diluar terdengar suara ibu yang mengobrol dengan Mpok Iroh, jelas ibunya Sarah, dia mengatakan bahwa aku sedang mandi, dan ibu sangat senang bahkan memberikan pelayanan yang membuatku merasa terhormat, beliau menyodoriku sampo, sabun, dan yang lainnya, padahal aku sudah membawanya dari rumah.
“Terima kasih, Bu, Mpok.” Setelah selesai mandi aku langsung berlari ke rumah dan segera memakai pakaian. Dan hal lucu atau bodoh yang aku lakukan pertama adalah aku langsung menyari setrikaan, kemudian menyolokannya. Beberapa menit aku menunggu ‘kok lampunya tidak menyala’ pikirku. Dengan menunggu panas aku mengenakan celana dan membereskan barang-barang yang akan dibawa, aku membawa dua baju ganti. Setelah itu aku mulai nyetrika, ‘kok tidak panas-panas, mana bajuku masih kusut belum disetrika’. Dengan bodoh aku menjawab ‘inikan mati lampu, kenapa lo mau nyetrika, dasar tolol!’ ya ampun, kadang pikiranku satu sama lain saling menjawab. Benar kata pikiranku yang lain bahwa ini mati lampu, aku saja mandi di rumah orang.
Aku segera beranjak pergi, menggendong tas dan berjalan sangat cepat menuju terminal Depok. Lagi-lagi aku menjadi perhatian pejalan kaki yang lain. bagaimana tidak ketika aku berjalan seperti orang kesurupan, jalanku bagaikan terbang saja. Aku berjalan meliak-liuk kesana kemari, menghindari pejalan kaki yang lain dalam waktu 10 menit aku sampai. Dimana mereka, tidak tampak mereka bilang sudah sampai di depan ITC Depok. Aku bolak balik membuka SMS yang masuk dan membalas Whatsapp dari mereka, setelah aku menjawab semua mereka tidak membalas lagi. Aku merasa dicurangi dan dipecundangi, karena aku sudah bersusah payah datang dengan langkah hampir terbang, mandi yang terburu-buru, pakaian kusut, dan sweeter yang lembab, dan sekarang mereka membohongiku. Sungguh malang nasib ini, ah, tidak malang terlalu berlebihan.
Hand phone ku berdering, panggilan dari ka Reni, “Heh, Dodol, lo dimane? Gue nungguin lo dari tadi di depan ITC lo malah baru dateng, kita lagi di dalem terminal lagi makan bubur.” Cetusnya. ‘tuuuutt… tuuuut’ telfon putus.
Baiklah akan aku cari ke dalam dan aku berpikir dimana tukang bubur itu, aku sangat frustasi mencari mereka, hari sudah sangat panas apalagi suasana terminal yang ramai dan penuh dengan kendaraan, membuat pagi yang cerah ini berlumuran keringat mengucur. Aku mengancam mereka. Aku membuat pesan “Dimana sih kalian ? tukang bubur di terminal itu banyak, gue pulang aja deh, kalo begini mah.” ‘Sent’. Mungkin aku egois sangat egois. Aku sudah enak tidak bersusah bangun sangat pagi, tidak seperti mereka yang bangun pagi dan buru-buru pergi ke Depok. Karena mereka tinggal di Ciledug dan Kalideres, Jakarta. Sebenarnya itu bukan pesan sesungguhnya, hanya sebagai gertakan agar mereka menampakan diri, karena sepertinya mereka sudah marah dan berdiam diri sehingga harus aku yang usaha mencari mereka.
Tidak lama kemudian panggilan masuk, percakapan terlihat alot karena satu sama lain tidak mengetahui dimana mereka berada, akhirnya ka Reni menampakan diri dan kami bertemu. “lo ngeselin ya, kita udah lama nungguin lo, eh malah lo mau pulang, dassaar!.” Celoteh Reni. Bombardiran pernyataan berlanjut “Tau nih, lo bukannya bersukur gak nyamperin, kita yang nyamperin. Malah gue tombok telfonin lo, sms dan yang lainnya.” Dinda membom dengan kata-kata yang sedikit kesal. Aku hanya bisa tersenyum kepada mereka karena ya, bagaimana lagi, memang begini adanya.
Walaupun aku di bombardir dengan pernyataan yang mungkin bagi orang lain tidak enak, tapi aku tidak. Karena kita sudah lama dan dekat satu sama lain. kita sudah bersahabat sejak empat tahun silam. Kami bertemu 2010 yang lalu.
“Iya, kalian hebat. Gue minta maaf, tadi di rumah gue mati lampu, gue mandi di rumah orang dan ngasal. Gue juga semalem begadang jadi bangun kesiangan. Gue lupa kalo kita mau jalan-jalan liburan.” Diselingi senyum dan ketawa kecil aku membela diri. Dan pembelaan membawa dampak lain, ada aja yang membuat aku tersudut.
“Apa lo bilang ‘begadang? Lupa kalo ada jalan-jalan?’ keterlaluan! Kita udah menyiapkan dari semalam lo malah santai-santai.” Entah kenapa bukannya merasa bersalah dengan marah mereka justru aku semakin tertawa lebar dan terkikik. Mereka pun ikutan ketawa dan kami memang sangat cair tidak ada rasa tegang, walaupun kami sedang marah satu sama lain. singkat cerita, kami sudah naik MGI Depok-Bandung. Awalnya mau naik travel tapi tidak sampai terminal.
Sesampainya di terminal Leuwipanjang, Bandung. Yang kami buru pertama kali adalah toilet, kalau kata Dinda nama lainya adalah jamban. Karena mungkin dia sangat dekat dengan benda tersebut. setelah berbersih diri kami bingung mau kemana, Trans Studio Bandung katanya jauh dan sekarang sudah sore, ke Ciwidey, Kab. Soreang juga sama jauhnya. Akhirnya kami berjalan-jalan menyusuri jalanan Bandung mencari makanan, ujung-ujungnya kami makan di warteg juga. Karena mencari tempat makan yang lain tidak ada.
Memang wanita tidak bisa diandalkan untuk membuat keputusan, setiap kali aku bertanya ‘mau kemana’ jawabannya selalu ‘tidak tahu atau bingung’. Jika begini caranya kita akan menjadi marbot[1] atau bisa jadi menjadi gelandangan terminal (gembel). Itu hanya bayangan kami bertiga saja yang frustasi menentukan mau kemana kita pergi, benar-benar perjalanan yang tanpa persiapan. Aku memutuskan pergi ke Ciwidey, Kab. Soreang.
Kami sampai di Ciwidey. Dan gejala bingung kembali menggelayuti, kami berjalan menyusuri jalanan mencari penginapan atau hotel, sempat kami mendapat hotel tapi untuk satu malamnya sangat mahal bagi kami. akhirnya kami mencari bantuan bertanya kepada tukang ojeg dan minta diantarkan ke penginapan yang harganya relatif. Kami tawar menawar harga untuk diantarkan kesana, “yaudah harganya Rp. 7.000 saja. Karena harga ini bagi kami murah, jika di bandingkan mengojek di Depok atau Jakarta, jadi kami langsung menyetujuinya. Kami tidak memiliki uang pas, jadi aku membayar Rp. 10.000 dan temanku satu motor berdua Rp. 15.000 karena sudah memberikan info hotel yang murah kami menolak untuk diberi kembalian dan sepertinya kedua tukang ojeg ini tidak berniat memberikan kembalian. Setelah sampai ternyata dekat, dengar-dengar jika naik angkot hanya membayar Rp. 4.000, bahkan aku sendiri membayar Rp. 10.000 temanku Rp. 15.000 total Rp. 35.000, jumlah yang sedikit memang, tapi entah kenapa aku merasa sedikit ganjil jika dibandingkan ongkos angkutan yang hanya Rp. 4.000 per orang total yang akan dikeluarkan Rp. 12.000, jauh dari total pengeluaran yang pertama. kami tertipu atau kami terlalu baik, aku berpikir ‘yasudahlah, anggap saja ini sedekah’. Sampai juga ke penginapan yang harganya lumayan murah. Kami menyewa satu kamar untuk tiga orang. Kamar yang nyaman dan dingin, suasana puncak memang seperti ini


[1] Pengurus masjid. Bahasa Sunda.

0 komentar:

Posting Komentar