Selasa, 25 Juni 2013

Tersisa Tiga

Lanjutan I


Suatu hari di pagi yang cerah ini, aku berjalan-jalan di sekitar rumah kemudian Fahmi menelepon dan meminta kita bertemu di rumahnya. Aku pun sorenya kesana dan bertemu dengannya.
            “Jujur nih Dan, gue udah gak kuat bertahan di bimbel itu, gue pengen ngundurin diri aja deh”. Katanya memulai pembicaraan.
            “Kok gto mi? lo lupa sama komitmen kita? Jangan sekali-kali menyerah dengan keadaan, kata ka Arif juga kalo udah masuk ya gak boleh keluar, karena lo udah diberi kesempatan buat bimbel gratis gak semua orang dapet loh mi”. Ujarku “kesempatan gak datang dua kali mi, coba dipikirin lagi deh”. Aku menambahkan.
            “gak bisa Dan, mungkin gue harus keluar secara perlahan. Gue kan gak kaya lo dan yang lainnya Dan, pada pinter. Nah, gue? Biasa aja bahkan ngisi soal Mtk aja salah mulu”. Keluhnya. Sepertinya dia mulai merasa kesal dan pasrah dengan keadaannya ini.
            “Ya gue sih gak bisa mencegah lo mi, Cuma bisa menyarankan doang, yaudah deh kalo lo maunya begitu semua keputusan ada sama lo mi”. Kataku. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi.
            “Yaudah Dan, thanks ya udah maen ke rumah dan ngedengerin keluh kesah gue, semoga langkah apapun yang gue ambil itu udah yang baik buat gue, amiin”.
            Aku berlalu dan berjalan menyusuri jalanan gang-gang perkotaan yang semakin lama, semakin sempit saja gang ini. Karena disana-sini sudah dibangun berbagai perumahan, rumah warga, dan keperluan yang lainnya sehingga menimbulkan ketegangan baik konflik social maupun konflik secara ekonomi. Inilah resiko yang harus ditanggung oleh rakyat, ketika pondasi ekonomi belum kuat dan memutuskan untuk menikah atau lebih dikenal dengan pernikahan dini. Berita ini bukan kabar angin lagi, pernikahan dini terjadi disana-sini, bahkan teman-temanku yang baru saja lulus SMA tahun yang sama denganku banyak yang menikah, terutama sekali yang wanitanya. Tidak habis pikir memang, teman yang sebangku denganku, bercanda tawa dengan riang, menikmati kebebasan masa mudanya justru harus direnggut dengan pernikahannya dengan seorang lelaki yang terkadang tidak benar-benar ia cintai, dalihnya sebagai pelengkap iman dalam islam atau menyenangkan orang tua atau bahkan karena si lelakinya kaya raya. Alasan kedua dan ketiga lebih umum terlihat dalam pernikahan dini ini. Pikiranku melayang-layang jauh hingga kemasalah pernikahan dini padahal aku tidak kepikiran sama sekali dengan pernikahan bahkan siapa yang menjadi istriku kelak pun tidak aku pikirkan.

            Rutinitas pagi seperti biasanya, bimbel dengan senang hati aku jalani dan semangat. Tapi ada perbedaan disini, Fahmi mulai malas-malasan ketika aku samper untuk berangkat bersama mungkin inilah strateginya untuk keluar dari bimbel, bahkan lebih sering tidak masuk bimbel. Lama kelamaan hanya satu minggu saja masuk, minggu berikutnya dia tidak masuk sama sekali dengan alasan selalu sakit. Aku yang mengetahui alasan bohongnya hanya bisa terdiam dan berbohong kepada yang lain. tidak masalah demi kebaikannya. Akhirnya semua menyadari dan merasa kehilangan Fahmi. Setelah beberapa bulan berlalu kami mulai terbiasa dengan ketidakberadaan Fahmi di kelas. Kami tersisa enam orang yaitu, Aku, Raka, Rohman, Ketty, Denis, dan Fatimah. Suatu hari ada murid baru di tempat bimbelku, dia bernama Dinda. Entah mengapa aku tertarik dengan namanya, karena waktu itu namanya sampai duluan sebelum orangnya kabar angin ini membuat ekspektasi ku melayang jauh, aku berpikir jika dia cantik akan aku pacari. Bukan, maksudku jika dia mau akan aku pacari. Karena si Raka telah berpacaran dengan murid bimbel yang lain Sekar namanya. Murid satu-satunya di tempat bimbel kami yang berasal bukan dari sekolah kami. dan sore hari tiba, Dinda datang dengan Ka Ihsan, pengurus bimbel juga.

            Ternyata dia jauh dari harapan berlebihku, dia terlihat lugu, pendiam, mungkin karena dia berkerudung panjang, bentuk fisiknya agak kurus bahkan memang kurus mungkin dia belajar terus setiap malam atau terlalu banyak pikiran dengan soal-soalnya untuk menempuh ujian perguruan tinggi ini. Pikiran tentang hal itu sangat menggelitik ku, karena tanpa aku sadari, setelah dipikir kembali, Dinda ibarat cerminan fisik diriku sendiri. Aku kurus, jangkung, dan berpipi agak cekung, karena faktor kurang makan dan terlalu mendapat tekanan dari ibu tiriku. Aku memang memiliki ibu tiri yang galak dan payah. Aku mulai bisa merasakan bentuk fisiknya. Kami berkenalan dengannya dan suaranya sangat kecil sekali, logat sundanya masih kental sekali, maklum dia dari Surade, Jawa Barat.
            Kami mulai belajar bersama dan semakin serius karena sesaat lagi ujian akan tiba tinggal beberapa bulan saja. Pertemanan semakin dekat dan dekat, tidak ada lagi perbedaan antara kau, kita, dan aku semua berbaur menjadi satu keluarga besar yang dinaungi oleh tempat bimbel ini. Kisah cinta Raka dan Sekar bergejolak kadang rendah, kadang tinggi tensinya, semua itu kami lalui dengan sangat akrab. Murid bertambah satu tapi yang keluar pun satu, jadi seimbang tapi yang menambah bukan dari sekolah kami tapi dari sekolah yang lain. Tidak lama setelah masuknya Dinda dalam kelas kami, Rohman mulai keteteran dalam belajar. Mulai tertinggal dan sering kali pasrah tidak mengikuti pelajaran, hanya menenangkan diri sesekali. Lama kelamaan dia pun keluar dengan berangsur-angsur intensitas masuknya semakin jarang dan sama sekali tidak masuk.

           Sepeninggal Rohman, jumlah kami tersisa tujuh orang. Beberapa kali kita mengikuti try out dan hasilnya terkadang masih jauh dari harapan, kadang pula bernilai baik. Pelajaran kami lalui dengan riang gembira. Suatu malam, aku berniat menginap di tempat bimbel. Aku berjalan dari rumah jam 08:00 malam, diperjalanan aku bertemu Kannti. Dia gadis yang selama ini aku sukai, tapi masih SMP sedangkan aku telah lulus SMA. Aku mengenalnya sejak ia kecil, sekarang ia telah SMP dan menampakan wajah manisnya. Bunga mulai merekah.

Bersambung (II)

0 komentar:

Posting Komentar