Kamis, 20 Juni 2013

Tersisa Tiga


            Sore yang kelam, karena saat itu langit mendung, rintik-rintik air mulai turun, kilat berlarian saling menderu membawa suara petir yang menggelegar bersamaan dengan hembusan angin yang dingin menusuk pipi seorang remaja di luar sana, aku terduduk melamuni sesuatu, entah apa yang dipikirkan oleh ku yang jelas aku terlihat melankolis sore ini. Tiba-tiba aku mulai meradang dan mataku berkaca-kaca dan berdoa.
            “Ya Allah mengapa nasibku seburuk ini, mengapa Engkau tidak masukan aku kuliah ditempat yang aku inginkan, dimana aku bisa menitik karir disana dan menjadi seseorang yang berguna kelak”. Pekik ku dengan tetesan air mata mengalir deras jatuh ke atas sejadahku, yang sedari tadi aku duduki sambil memandang keluar jendela kamarku.
            “Dingin sekali… tapi aku harus tetap pergi ngojek payung karena hujannya deras dan sore hari, pasti di stasiun sudah banyak orang pulang kerja dan tidak membawa payung”. Desir angin membawa suara samar remaja di luar tadi yang masuk melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka. Dia berlalu dan membawa payungnya pergi.
            Aku masih terduduk memikirkan nasibku yang entah mau dibawa kemana. Aku mulai bangkit ketika terdengar bunyi nyaring sms ku. ‘kkrrriiiiing…’. Hp ku menampilkan satu pesan dan ketika aku baca berbunyi.
            “Assm. Dodi, Denis dapat kabar dari ka Arif kalau kita besok disuruh datang ke tampat bimbelnya, katanya kita mau dites dan jika lolos kita akan menjadi murid bimbel disana”. Hatiku berbunga-bunga, rasanya jantung ini mulai berdetak kembali. Alhamdulilah, harapan baru telah muncul walaupun aku tidak diterima di universitas yang aku mau tapi tahun depan pasti aku bisa menggapainya, karena aku akan berusaha agar aku lolos pada seleksi pemilihan murid bimbel itu. Dengan begitu jalanku akan mulus. Paru-paru seperti dipompa oleh udara segar penuh oksigen, segar sekali. Aku memutuskan untuk sholat isya dan melanjutkan sholat sunnah, hajat. Setelahnya seperti biasa aku berdoa agar diterima di universitas yang aku inginkan. Kemudian bunga-bunga berterbangan di atas kepalaku, tatkala aku membaringkan tubuh kaku yang mulai melunak ini, semakin lama bunga meredup dan aku tertidur.
            Pagi hari aku mulai berdebar-debar tidak karuan, kami berangkat bersama ke tempat bimbel ka Arif, kami kenal dengannya dahulu ketika dia masih mahasiswa, dia mengajari kami ekonomi. Tapi sekarang dia telah lulus dan membuat usaha tempat bimbelnya. Aku bersemangat pagi ini, diperjalanan setelah aku hitung berjumlah tujuh orang, aku pikir persaingan memperebutkan kursi tempat bimbel lumayan keras. Entah berapa yang akan diterima yang jelas terdapat seleksi katanya. Kami sampai dan langsung masuk, kami diterima oleh ka Reni namanya mungkin kami harus mendaftar terlebih dahulu kepadanya. Dia baik, murah senyum, dan tidak terlihat jutek. Setelah emngisi formulir kami berbincang-bincang dengannya, sambil tertawa-tawa kami terus berbincang, tiba-tiba ka Arif yang punya tempat bimbel datang, katanya dia habis mengajar di daerah Jakarta.

          “Hallo, anak-anak dari sekolah Yabim ya?”. Sapanya dengan lembut. Kesan pertamaku setelah melihatnya lebih dekat, walaupun dia menyapa dengan ramah tapi aku tidak bisa melihat keramahan yang alaminya. Aah… entahlah mungkin aku terlalu terbawa suasana hati yang sedang mendung.
            “Iyaa..”. kami serempak menjawab. Mungkin hanya aku yang terdiam, hanya senyuman kecil aku simpulkan kepadanya.
            Kami diberitahukan olehnya bahwa kami diterima semua bimbel disana tanpa terkecuali, Alhamdulilah, pikirku lega. Dengan begini aku akan bisa meraih mimpiku yang tertunda. Pepatah mengatakan ‘kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda’. Jadi selama ini aku sebenarnya sukses akan tetapi masih tertunda menunggu waktu yang tepat untuk meraihnya. Mungkin itulah kepercayaan diriku yang setelah aku pikir tidak dimiliki oleh anak-anak yang lainnya. Setelah berbincang lama kami memutuskan pulang. Di perjalanan aku berbincang dengan Denis teman baikku.
            “Nis, ko kita bisa diterima semua ya, apa ka Arif gak rugi?”. Kataku.
            “Iya Dan, aku juga berpikir begitu apakah ka Arif hanya membohongi kita agar kita belajar terlebih dahulu agar ketika menjawab soal-soal kita bisa”. Timpalnya.
            “Bisa jadi begitu Nis”. Kataku sambil mata menerobos kedepan tanpa arah. “kamu mau pulang langsung?”. Tanyaku kemudian.
            “Sepertinya begitu Dan, yaudah ketemu lagi besok pagi ya, kita kan sudah mulai belajar di tempat bimbel ka Arif jadi sering ketemu, daah.. Assalamualaikum”. Kata-kata terakhir ini menutup pembicaraan kami dan kami berpisah di persimpangan jalan, aku masuk gang dia menuju jalan besar untuk naik angkot ke arah rumahnya.
            Kami berpisah. Dengan perasaan yang bercampur aduk aku terus berjalan, lagi-lagi aku seperti tidak memiliki arah tujuan dalam perjalanan ku ini, gang yang biasa aku lewati terasa berlalu begitu saja, seperti tidak ada orang lain yang melewati jalanan ini dan dikanan kiri jalan ini juga. Setiba aku di suatu gang ketika aku ingin melunjur kesana, aku tertegun melihat mantanku yang berjalan sendirian di depan mataku.
            “Ririn…”. Teriakku dari arah belakangnya.
            “Dana… looh kok bisa ada disini? Rumah kamu kan di dekat stasiun sana, ngapain kamu kesini?”. Berondongan pertanyaan keheranan darinya. Karena terakhir kali aku kesini dua tahun silam. Belum sempat aku menjawab dia langsung menembak ku dengan pertanyaan yang tak terduga. “Kamu mau maen kerumahku ya? Apa jangan-jangan sekarang kamu sadar dan mau melamarku?”. Dia tertawa lepas sekali setelah mengatakan itu. Aku bingung harus menjawab apa dan aku hanya ikut tertawa.

          “Kamu itu memang narsisnya gak ketulungan, dari dulu kita pacaran sampe sekarang belom juga berubah”. Aku meledeknya dengan tertawa kecil.
            “Kamu juga narsis”. Dia menimpali sambil menjulurkan lidahnya. Kami tertawa riang, padahal pertanyaan dia belum bahkan sama sekali tidak terjawab. Sesampainya di warung agar besar dia berhenti disana dan mungkin akan membeli sesuatu tapi aku memutuskan pergi duluan dan kami berpisah.
            Sesampainya di rumah aku menjatuhkan tubuh di atas kasur yang sama sekali tidak empuk, jadi ketika aku terjauth terdengar suara ‘jjdduuk’. Uuh… sebenarnya sakit tapi karena entah sedang merasakan apa aku tidak merasakan apa-apa. Aku justru tertidur, hingga adzan magrib membangunkanku. Pagi hari aku pergi sangat pagi sekali ke tempat bimbel, karena aku akan mampir ke rumah Fahmi terlebih dahulu dia mengajakku berangkat bersama kesana. Aku sampai di rumahnya.
            “Fahmii…”. Teriak ku di depan pintu.
            “Iya, Fahminya lagi mandi, tunggu aja ya”. Kakak Fahmi menimpali. Aku duduk di sebuah kursi panjang yang terlihat kurus. Aku membaca buku IPS dan sesekali mengingat tokoh-tokoh dalam sejarah Perang Dunia 1 dan 2. Aku tertarik dengan sejarah perang dunia ke-2 karena di dalamnya ada Rusia atau Uni Soviet sejak lama aku tertarik dengan sejarah Rusia, apalagi jika berbicara tentang Uni Soviet dengan aliran komunisnya. 15 menit telah berlalu fahmi belum juga siap, setelah lima menit berlalu kembali dia siap dengan wajah tidak menunjukan muka bersalah. Kami berangkat, tidak masalah bagiku jika harus menunggu lama asalkan waktuku tidak terbuang sia-sia karenanya. Aku ingin menjadikan waktu lebih produktif. Kami belajar bersama dengan teman-teman lama tapi suasana kelas yang baru dan guru-guru yang baru. Berjalan dengan detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam dan seterusnya hingga waktu belajarku telah bergulir selama dua minggu.
            “Dan, gue gak kuat deh bimbelnya, soalnya pelajarannya berat-berat apalagi Mtk nya gue gak ngerti-ngerti nih”. Fahmi mengeluh kepadaku dan sepertinya selalu mengeluh setiap kali kita belajar dan terutama sekali, matematika.
            “Sabar lah mi, mau kuliah dan sukses mana ada jalan yang mudah mi, sudah sering kita dinasehati oleh para guru bahwa bimbel adalah proses awal menuju perkuliahan yang nantinya kita dituntut untuk belajar lebih keras lagi”. Aku berusaha menasehati dan membangkitkan semangatnya.
            “Iya sih Dan, tapi kalo harus kaya gini, gue jadi males kuliah… puyeng pala gue”. Keluhnya.
            “Iya terserah lo deh mi, masa depan kan lo yang tanggung”. Aku pasrah karena tidak ada kata lain lagi yang bisa aku katakana untuk menasehatinya, karena dia sudah begitu kepayahan dalam belajar. Aku sempat meragukan dirinya takut-takut kalau dia minta keluar dari tempat bimbel ini.

#Bersambung (I) ...

2 komentar:

Dinda Ananda Putri mengatakan...

Lanjutkaaaaaaaaaaaaan............
hehehehehee

Unknown mengatakan...

hahaaa... sipo.. :p
udah gue upload yang tentang kita.

Posting Komentar