Selasa, 25 Juni 2013

Tersisa Tiga

0 komentar
Lanjutan I


Suatu hari di pagi yang cerah ini, aku berjalan-jalan di sekitar rumah kemudian Fahmi menelepon dan meminta kita bertemu di rumahnya. Aku pun sorenya kesana dan bertemu dengannya.
            “Jujur nih Dan, gue udah gak kuat bertahan di bimbel itu, gue pengen ngundurin diri aja deh”. Katanya memulai pembicaraan.
            “Kok gto mi? lo lupa sama komitmen kita? Jangan sekali-kali menyerah dengan keadaan, kata ka Arif juga kalo udah masuk ya gak boleh keluar, karena lo udah diberi kesempatan buat bimbel gratis gak semua orang dapet loh mi”. Ujarku “kesempatan gak datang dua kali mi, coba dipikirin lagi deh”. Aku menambahkan.
            “gak bisa Dan, mungkin gue harus keluar secara perlahan. Gue kan gak kaya lo dan yang lainnya Dan, pada pinter. Nah, gue? Biasa aja bahkan ngisi soal Mtk aja salah mulu”. Keluhnya. Sepertinya dia mulai merasa kesal dan pasrah dengan keadaannya ini.
            “Ya gue sih gak bisa mencegah lo mi, Cuma bisa menyarankan doang, yaudah deh kalo lo maunya begitu semua keputusan ada sama lo mi”. Kataku. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi.
            “Yaudah Dan, thanks ya udah maen ke rumah dan ngedengerin keluh kesah gue, semoga langkah apapun yang gue ambil itu udah yang baik buat gue, amiin”.
            Aku berlalu dan berjalan menyusuri jalanan gang-gang perkotaan yang semakin lama, semakin sempit saja gang ini. Karena disana-sini sudah dibangun berbagai perumahan, rumah warga, dan keperluan yang lainnya sehingga menimbulkan ketegangan baik konflik social maupun konflik secara ekonomi. Inilah resiko yang harus ditanggung oleh rakyat, ketika pondasi ekonomi belum kuat dan memutuskan untuk menikah atau lebih dikenal dengan pernikahan dini. Berita ini bukan kabar angin lagi, pernikahan dini terjadi disana-sini, bahkan teman-temanku yang baru saja lulus SMA tahun yang sama denganku banyak yang menikah, terutama sekali yang wanitanya. Tidak habis pikir memang, teman yang sebangku denganku, bercanda tawa dengan riang, menikmati kebebasan masa mudanya justru harus direnggut dengan pernikahannya dengan seorang lelaki yang terkadang tidak benar-benar ia cintai, dalihnya sebagai pelengkap iman dalam islam atau menyenangkan orang tua atau bahkan karena si lelakinya kaya raya. Alasan kedua dan ketiga lebih umum terlihat dalam pernikahan dini ini. Pikiranku melayang-layang jauh hingga kemasalah pernikahan dini padahal aku tidak kepikiran sama sekali dengan pernikahan bahkan siapa yang menjadi istriku kelak pun tidak aku pikirkan.

            Rutinitas pagi seperti biasanya, bimbel dengan senang hati aku jalani dan semangat. Tapi ada perbedaan disini, Fahmi mulai malas-malasan ketika aku samper untuk berangkat bersama mungkin inilah strateginya untuk keluar dari bimbel, bahkan lebih sering tidak masuk bimbel. Lama kelamaan hanya satu minggu saja masuk, minggu berikutnya dia tidak masuk sama sekali dengan alasan selalu sakit. Aku yang mengetahui alasan bohongnya hanya bisa terdiam dan berbohong kepada yang lain. tidak masalah demi kebaikannya. Akhirnya semua menyadari dan merasa kehilangan Fahmi. Setelah beberapa bulan berlalu kami mulai terbiasa dengan ketidakberadaan Fahmi di kelas. Kami tersisa enam orang yaitu, Aku, Raka, Rohman, Ketty, Denis, dan Fatimah. Suatu hari ada murid baru di tempat bimbelku, dia bernama Dinda. Entah mengapa aku tertarik dengan namanya, karena waktu itu namanya sampai duluan sebelum orangnya kabar angin ini membuat ekspektasi ku melayang jauh, aku berpikir jika dia cantik akan aku pacari. Bukan, maksudku jika dia mau akan aku pacari. Karena si Raka telah berpacaran dengan murid bimbel yang lain Sekar namanya. Murid satu-satunya di tempat bimbel kami yang berasal bukan dari sekolah kami. dan sore hari tiba, Dinda datang dengan Ka Ihsan, pengurus bimbel juga.

            Ternyata dia jauh dari harapan berlebihku, dia terlihat lugu, pendiam, mungkin karena dia berkerudung panjang, bentuk fisiknya agak kurus bahkan memang kurus mungkin dia belajar terus setiap malam atau terlalu banyak pikiran dengan soal-soalnya untuk menempuh ujian perguruan tinggi ini. Pikiran tentang hal itu sangat menggelitik ku, karena tanpa aku sadari, setelah dipikir kembali, Dinda ibarat cerminan fisik diriku sendiri. Aku kurus, jangkung, dan berpipi agak cekung, karena faktor kurang makan dan terlalu mendapat tekanan dari ibu tiriku. Aku memang memiliki ibu tiri yang galak dan payah. Aku mulai bisa merasakan bentuk fisiknya. Kami berkenalan dengannya dan suaranya sangat kecil sekali, logat sundanya masih kental sekali, maklum dia dari Surade, Jawa Barat.
            Kami mulai belajar bersama dan semakin serius karena sesaat lagi ujian akan tiba tinggal beberapa bulan saja. Pertemanan semakin dekat dan dekat, tidak ada lagi perbedaan antara kau, kita, dan aku semua berbaur menjadi satu keluarga besar yang dinaungi oleh tempat bimbel ini. Kisah cinta Raka dan Sekar bergejolak kadang rendah, kadang tinggi tensinya, semua itu kami lalui dengan sangat akrab. Murid bertambah satu tapi yang keluar pun satu, jadi seimbang tapi yang menambah bukan dari sekolah kami tapi dari sekolah yang lain. Tidak lama setelah masuknya Dinda dalam kelas kami, Rohman mulai keteteran dalam belajar. Mulai tertinggal dan sering kali pasrah tidak mengikuti pelajaran, hanya menenangkan diri sesekali. Lama kelamaan dia pun keluar dengan berangsur-angsur intensitas masuknya semakin jarang dan sama sekali tidak masuk.

           Sepeninggal Rohman, jumlah kami tersisa tujuh orang. Beberapa kali kita mengikuti try out dan hasilnya terkadang masih jauh dari harapan, kadang pula bernilai baik. Pelajaran kami lalui dengan riang gembira. Suatu malam, aku berniat menginap di tempat bimbel. Aku berjalan dari rumah jam 08:00 malam, diperjalanan aku bertemu Kannti. Dia gadis yang selama ini aku sukai, tapi masih SMP sedangkan aku telah lulus SMA. Aku mengenalnya sejak ia kecil, sekarang ia telah SMP dan menampakan wajah manisnya. Bunga mulai merekah.

Bersambung (II)

Minggu, 23 Juni 2013

Anda Menipu, Aku Sedekah

0 komentar
Bagian I         
            “Bangun… Bangun… Kamu gak kuliah ?.” Suara Ibu mengagetkan mimpi indahku.
            Bukannya merespon apa yang dikatakan oleh Ibu aku malah tetap berbaring dan menguap dengan malas, “tidak bu, ini kan hari sabtu.” Jawabanku menutup percakapan pagi itu. Aku berpikir ada apa pagi ini? Ini kan hari sabtu. “krrriiiiiiing… kriiiiiing..” suara SMS masuk ke HP ku, dengan malas aku bangun dan mengambil HP. Setelah membuka kunci HP, aku menerima enam pesan. Dua dari teman kampus, empat dari temanku Dinda.
            “Eh, cepetan ke terminal, katanya ka Reni udah jalan tuh..” Itulah bunyi SMS salah satu pesan Dinda. Aku panik bukan main, bingung mau melakukan apa. Sekarang sudah jam 08:02 sedangkan belum ada yang aku persiapkan sama sekali. Ah, iya aku lupa jika hari ini kita memiliki rencana akan jalan-jalan ke Bandung, ah, tidak, Taman Safari Bogor, sepertinya tidak juga, entahlah. Daripada aku memikirkan itu lebih baik aku bergegas ke kamar mandi.
            “Mau kemana A?.”
            “Mau mandi lah Tin, emang kenapa tumben nanya.” Ucapku.
“Nggak ada air tau a, orang mati lampu. Makanya nanya.” Adik ku menimpali.
“Hah? Masa? Yaudah lah.” Aku langsung berpikir keras, dimana aku harus mandi dan bayangan rumah Lukman tetanggaku terlintas, yah, rumah Lukman yang adiknya adalah sahabatku sejak kecil, Sarah. Dengan muka masam dan masih sangat mengantuk karena aku begadang semalaman, baru tidur jam 01.09 dini hari.
“Mpok, saya mau numpang mandi ya? Soalnya di rumah mati lampu.” Tanya ku kepada Mpok Iroh, kakak tertua dari keluarga Sarah.
“Boleh, silakan Dan, masuk aja. Tapi disini mah nimba.” Jawabnya. Memang keluarga ini ditengah modernisasi peralatan dan hampir semua orang menggantungkan hidupnya kepada mesin, keluarga ini tidak. Mereka hidup sederhana, rumah sangat biasa, dan sumber air masih menggunakan pompa air. Aku memompa air ke dalam bak hingga penuh dan memulai mandi, diluar terdengar suara ibu yang mengobrol dengan Mpok Iroh, jelas ibunya Sarah, dia mengatakan bahwa aku sedang mandi, dan ibu sangat senang bahkan memberikan pelayanan yang membuatku merasa terhormat, beliau menyodoriku sampo, sabun, dan yang lainnya, padahal aku sudah membawanya dari rumah.
“Terima kasih, Bu, Mpok.” Setelah selesai mandi aku langsung berlari ke rumah dan segera memakai pakaian. Dan hal lucu atau bodoh yang aku lakukan pertama adalah aku langsung menyari setrikaan, kemudian menyolokannya. Beberapa menit aku menunggu ‘kok lampunya tidak menyala’ pikirku. Dengan menunggu panas aku mengenakan celana dan membereskan barang-barang yang akan dibawa, aku membawa dua baju ganti. Setelah itu aku mulai nyetrika, ‘kok tidak panas-panas, mana bajuku masih kusut belum disetrika’. Dengan bodoh aku menjawab ‘inikan mati lampu, kenapa lo mau nyetrika, dasar tolol!’ ya ampun, kadang pikiranku satu sama lain saling menjawab. Benar kata pikiranku yang lain bahwa ini mati lampu, aku saja mandi di rumah orang.
Aku segera beranjak pergi, menggendong tas dan berjalan sangat cepat menuju terminal Depok. Lagi-lagi aku menjadi perhatian pejalan kaki yang lain. bagaimana tidak ketika aku berjalan seperti orang kesurupan, jalanku bagaikan terbang saja. Aku berjalan meliak-liuk kesana kemari, menghindari pejalan kaki yang lain dalam waktu 10 menit aku sampai. Dimana mereka, tidak tampak mereka bilang sudah sampai di depan ITC Depok. Aku bolak balik membuka SMS yang masuk dan membalas Whatsapp dari mereka, setelah aku menjawab semua mereka tidak membalas lagi. Aku merasa dicurangi dan dipecundangi, karena aku sudah bersusah payah datang dengan langkah hampir terbang, mandi yang terburu-buru, pakaian kusut, dan sweeter yang lembab, dan sekarang mereka membohongiku. Sungguh malang nasib ini, ah, tidak malang terlalu berlebihan.
Hand phone ku berdering, panggilan dari ka Reni, “Heh, Dodol, lo dimane? Gue nungguin lo dari tadi di depan ITC lo malah baru dateng, kita lagi di dalem terminal lagi makan bubur.” Cetusnya. ‘tuuuutt… tuuuut’ telfon putus.
Baiklah akan aku cari ke dalam dan aku berpikir dimana tukang bubur itu, aku sangat frustasi mencari mereka, hari sudah sangat panas apalagi suasana terminal yang ramai dan penuh dengan kendaraan, membuat pagi yang cerah ini berlumuran keringat mengucur. Aku mengancam mereka. Aku membuat pesan “Dimana sih kalian ? tukang bubur di terminal itu banyak, gue pulang aja deh, kalo begini mah.” ‘Sent’. Mungkin aku egois sangat egois. Aku sudah enak tidak bersusah bangun sangat pagi, tidak seperti mereka yang bangun pagi dan buru-buru pergi ke Depok. Karena mereka tinggal di Ciledug dan Kalideres, Jakarta. Sebenarnya itu bukan pesan sesungguhnya, hanya sebagai gertakan agar mereka menampakan diri, karena sepertinya mereka sudah marah dan berdiam diri sehingga harus aku yang usaha mencari mereka.
Tidak lama kemudian panggilan masuk, percakapan terlihat alot karena satu sama lain tidak mengetahui dimana mereka berada, akhirnya ka Reni menampakan diri dan kami bertemu. “lo ngeselin ya, kita udah lama nungguin lo, eh malah lo mau pulang, dassaar!.” Celoteh Reni. Bombardiran pernyataan berlanjut “Tau nih, lo bukannya bersukur gak nyamperin, kita yang nyamperin. Malah gue tombok telfonin lo, sms dan yang lainnya.” Dinda membom dengan kata-kata yang sedikit kesal. Aku hanya bisa tersenyum kepada mereka karena ya, bagaimana lagi, memang begini adanya.
Walaupun aku di bombardir dengan pernyataan yang mungkin bagi orang lain tidak enak, tapi aku tidak. Karena kita sudah lama dan dekat satu sama lain. kita sudah bersahabat sejak empat tahun silam. Kami bertemu 2010 yang lalu.
“Iya, kalian hebat. Gue minta maaf, tadi di rumah gue mati lampu, gue mandi di rumah orang dan ngasal. Gue juga semalem begadang jadi bangun kesiangan. Gue lupa kalo kita mau jalan-jalan liburan.” Diselingi senyum dan ketawa kecil aku membela diri. Dan pembelaan membawa dampak lain, ada aja yang membuat aku tersudut.
“Apa lo bilang ‘begadang? Lupa kalo ada jalan-jalan?’ keterlaluan! Kita udah menyiapkan dari semalam lo malah santai-santai.” Entah kenapa bukannya merasa bersalah dengan marah mereka justru aku semakin tertawa lebar dan terkikik. Mereka pun ikutan ketawa dan kami memang sangat cair tidak ada rasa tegang, walaupun kami sedang marah satu sama lain. singkat cerita, kami sudah naik MGI Depok-Bandung. Awalnya mau naik travel tapi tidak sampai terminal.
Sesampainya di terminal Leuwipanjang, Bandung. Yang kami buru pertama kali adalah toilet, kalau kata Dinda nama lainya adalah jamban. Karena mungkin dia sangat dekat dengan benda tersebut. setelah berbersih diri kami bingung mau kemana, Trans Studio Bandung katanya jauh dan sekarang sudah sore, ke Ciwidey, Kab. Soreang juga sama jauhnya. Akhirnya kami berjalan-jalan menyusuri jalanan Bandung mencari makanan, ujung-ujungnya kami makan di warteg juga. Karena mencari tempat makan yang lain tidak ada.
Memang wanita tidak bisa diandalkan untuk membuat keputusan, setiap kali aku bertanya ‘mau kemana’ jawabannya selalu ‘tidak tahu atau bingung’. Jika begini caranya kita akan menjadi marbot[1] atau bisa jadi menjadi gelandangan terminal (gembel). Itu hanya bayangan kami bertiga saja yang frustasi menentukan mau kemana kita pergi, benar-benar perjalanan yang tanpa persiapan. Aku memutuskan pergi ke Ciwidey, Kab. Soreang.
Kami sampai di Ciwidey. Dan gejala bingung kembali menggelayuti, kami berjalan menyusuri jalanan mencari penginapan atau hotel, sempat kami mendapat hotel tapi untuk satu malamnya sangat mahal bagi kami. akhirnya kami mencari bantuan bertanya kepada tukang ojeg dan minta diantarkan ke penginapan yang harganya relatif. Kami tawar menawar harga untuk diantarkan kesana, “yaudah harganya Rp. 7.000 saja. Karena harga ini bagi kami murah, jika di bandingkan mengojek di Depok atau Jakarta, jadi kami langsung menyetujuinya. Kami tidak memiliki uang pas, jadi aku membayar Rp. 10.000 dan temanku satu motor berdua Rp. 15.000 karena sudah memberikan info hotel yang murah kami menolak untuk diberi kembalian dan sepertinya kedua tukang ojeg ini tidak berniat memberikan kembalian. Setelah sampai ternyata dekat, dengar-dengar jika naik angkot hanya membayar Rp. 4.000, bahkan aku sendiri membayar Rp. 10.000 temanku Rp. 15.000 total Rp. 35.000, jumlah yang sedikit memang, tapi entah kenapa aku merasa sedikit ganjil jika dibandingkan ongkos angkutan yang hanya Rp. 4.000 per orang total yang akan dikeluarkan Rp. 12.000, jauh dari total pengeluaran yang pertama. kami tertipu atau kami terlalu baik, aku berpikir ‘yasudahlah, anggap saja ini sedekah’. Sampai juga ke penginapan yang harganya lumayan murah. Kami menyewa satu kamar untuk tiga orang. Kamar yang nyaman dan dingin, suasana puncak memang seperti ini


[1] Pengurus masjid. Bahasa Sunda.

Kamis, 20 Juni 2013

Tersisa Tiga

2 komentar

            Sore yang kelam, karena saat itu langit mendung, rintik-rintik air mulai turun, kilat berlarian saling menderu membawa suara petir yang menggelegar bersamaan dengan hembusan angin yang dingin menusuk pipi seorang remaja di luar sana, aku terduduk melamuni sesuatu, entah apa yang dipikirkan oleh ku yang jelas aku terlihat melankolis sore ini. Tiba-tiba aku mulai meradang dan mataku berkaca-kaca dan berdoa.
            “Ya Allah mengapa nasibku seburuk ini, mengapa Engkau tidak masukan aku kuliah ditempat yang aku inginkan, dimana aku bisa menitik karir disana dan menjadi seseorang yang berguna kelak”. Pekik ku dengan tetesan air mata mengalir deras jatuh ke atas sejadahku, yang sedari tadi aku duduki sambil memandang keluar jendela kamarku.
            “Dingin sekali… tapi aku harus tetap pergi ngojek payung karena hujannya deras dan sore hari, pasti di stasiun sudah banyak orang pulang kerja dan tidak membawa payung”. Desir angin membawa suara samar remaja di luar tadi yang masuk melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka. Dia berlalu dan membawa payungnya pergi.
            Aku masih terduduk memikirkan nasibku yang entah mau dibawa kemana. Aku mulai bangkit ketika terdengar bunyi nyaring sms ku. ‘kkrrriiiiing…’. Hp ku menampilkan satu pesan dan ketika aku baca berbunyi.
            “Assm. Dodi, Denis dapat kabar dari ka Arif kalau kita besok disuruh datang ke tampat bimbelnya, katanya kita mau dites dan jika lolos kita akan menjadi murid bimbel disana”. Hatiku berbunga-bunga, rasanya jantung ini mulai berdetak kembali. Alhamdulilah, harapan baru telah muncul walaupun aku tidak diterima di universitas yang aku mau tapi tahun depan pasti aku bisa menggapainya, karena aku akan berusaha agar aku lolos pada seleksi pemilihan murid bimbel itu. Dengan begitu jalanku akan mulus. Paru-paru seperti dipompa oleh udara segar penuh oksigen, segar sekali. Aku memutuskan untuk sholat isya dan melanjutkan sholat sunnah, hajat. Setelahnya seperti biasa aku berdoa agar diterima di universitas yang aku inginkan. Kemudian bunga-bunga berterbangan di atas kepalaku, tatkala aku membaringkan tubuh kaku yang mulai melunak ini, semakin lama bunga meredup dan aku tertidur.
            Pagi hari aku mulai berdebar-debar tidak karuan, kami berangkat bersama ke tempat bimbel ka Arif, kami kenal dengannya dahulu ketika dia masih mahasiswa, dia mengajari kami ekonomi. Tapi sekarang dia telah lulus dan membuat usaha tempat bimbelnya. Aku bersemangat pagi ini, diperjalanan setelah aku hitung berjumlah tujuh orang, aku pikir persaingan memperebutkan kursi tempat bimbel lumayan keras. Entah berapa yang akan diterima yang jelas terdapat seleksi katanya. Kami sampai dan langsung masuk, kami diterima oleh ka Reni namanya mungkin kami harus mendaftar terlebih dahulu kepadanya. Dia baik, murah senyum, dan tidak terlihat jutek. Setelah emngisi formulir kami berbincang-bincang dengannya, sambil tertawa-tawa kami terus berbincang, tiba-tiba ka Arif yang punya tempat bimbel datang, katanya dia habis mengajar di daerah Jakarta.

          “Hallo, anak-anak dari sekolah Yabim ya?”. Sapanya dengan lembut. Kesan pertamaku setelah melihatnya lebih dekat, walaupun dia menyapa dengan ramah tapi aku tidak bisa melihat keramahan yang alaminya. Aah… entahlah mungkin aku terlalu terbawa suasana hati yang sedang mendung.
            “Iyaa..”. kami serempak menjawab. Mungkin hanya aku yang terdiam, hanya senyuman kecil aku simpulkan kepadanya.
            Kami diberitahukan olehnya bahwa kami diterima semua bimbel disana tanpa terkecuali, Alhamdulilah, pikirku lega. Dengan begini aku akan bisa meraih mimpiku yang tertunda. Pepatah mengatakan ‘kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda’. Jadi selama ini aku sebenarnya sukses akan tetapi masih tertunda menunggu waktu yang tepat untuk meraihnya. Mungkin itulah kepercayaan diriku yang setelah aku pikir tidak dimiliki oleh anak-anak yang lainnya. Setelah berbincang lama kami memutuskan pulang. Di perjalanan aku berbincang dengan Denis teman baikku.
            “Nis, ko kita bisa diterima semua ya, apa ka Arif gak rugi?”. Kataku.
            “Iya Dan, aku juga berpikir begitu apakah ka Arif hanya membohongi kita agar kita belajar terlebih dahulu agar ketika menjawab soal-soal kita bisa”. Timpalnya.
            “Bisa jadi begitu Nis”. Kataku sambil mata menerobos kedepan tanpa arah. “kamu mau pulang langsung?”. Tanyaku kemudian.
            “Sepertinya begitu Dan, yaudah ketemu lagi besok pagi ya, kita kan sudah mulai belajar di tempat bimbel ka Arif jadi sering ketemu, daah.. Assalamualaikum”. Kata-kata terakhir ini menutup pembicaraan kami dan kami berpisah di persimpangan jalan, aku masuk gang dia menuju jalan besar untuk naik angkot ke arah rumahnya.
            Kami berpisah. Dengan perasaan yang bercampur aduk aku terus berjalan, lagi-lagi aku seperti tidak memiliki arah tujuan dalam perjalanan ku ini, gang yang biasa aku lewati terasa berlalu begitu saja, seperti tidak ada orang lain yang melewati jalanan ini dan dikanan kiri jalan ini juga. Setiba aku di suatu gang ketika aku ingin melunjur kesana, aku tertegun melihat mantanku yang berjalan sendirian di depan mataku.
            “Ririn…”. Teriakku dari arah belakangnya.
            “Dana… looh kok bisa ada disini? Rumah kamu kan di dekat stasiun sana, ngapain kamu kesini?”. Berondongan pertanyaan keheranan darinya. Karena terakhir kali aku kesini dua tahun silam. Belum sempat aku menjawab dia langsung menembak ku dengan pertanyaan yang tak terduga. “Kamu mau maen kerumahku ya? Apa jangan-jangan sekarang kamu sadar dan mau melamarku?”. Dia tertawa lepas sekali setelah mengatakan itu. Aku bingung harus menjawab apa dan aku hanya ikut tertawa.

          “Kamu itu memang narsisnya gak ketulungan, dari dulu kita pacaran sampe sekarang belom juga berubah”. Aku meledeknya dengan tertawa kecil.
            “Kamu juga narsis”. Dia menimpali sambil menjulurkan lidahnya. Kami tertawa riang, padahal pertanyaan dia belum bahkan sama sekali tidak terjawab. Sesampainya di warung agar besar dia berhenti disana dan mungkin akan membeli sesuatu tapi aku memutuskan pergi duluan dan kami berpisah.
            Sesampainya di rumah aku menjatuhkan tubuh di atas kasur yang sama sekali tidak empuk, jadi ketika aku terjauth terdengar suara ‘jjdduuk’. Uuh… sebenarnya sakit tapi karena entah sedang merasakan apa aku tidak merasakan apa-apa. Aku justru tertidur, hingga adzan magrib membangunkanku. Pagi hari aku pergi sangat pagi sekali ke tempat bimbel, karena aku akan mampir ke rumah Fahmi terlebih dahulu dia mengajakku berangkat bersama kesana. Aku sampai di rumahnya.
            “Fahmii…”. Teriak ku di depan pintu.
            “Iya, Fahminya lagi mandi, tunggu aja ya”. Kakak Fahmi menimpali. Aku duduk di sebuah kursi panjang yang terlihat kurus. Aku membaca buku IPS dan sesekali mengingat tokoh-tokoh dalam sejarah Perang Dunia 1 dan 2. Aku tertarik dengan sejarah perang dunia ke-2 karena di dalamnya ada Rusia atau Uni Soviet sejak lama aku tertarik dengan sejarah Rusia, apalagi jika berbicara tentang Uni Soviet dengan aliran komunisnya. 15 menit telah berlalu fahmi belum juga siap, setelah lima menit berlalu kembali dia siap dengan wajah tidak menunjukan muka bersalah. Kami berangkat, tidak masalah bagiku jika harus menunggu lama asalkan waktuku tidak terbuang sia-sia karenanya. Aku ingin menjadikan waktu lebih produktif. Kami belajar bersama dengan teman-teman lama tapi suasana kelas yang baru dan guru-guru yang baru. Berjalan dengan detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam dan seterusnya hingga waktu belajarku telah bergulir selama dua minggu.
            “Dan, gue gak kuat deh bimbelnya, soalnya pelajarannya berat-berat apalagi Mtk nya gue gak ngerti-ngerti nih”. Fahmi mengeluh kepadaku dan sepertinya selalu mengeluh setiap kali kita belajar dan terutama sekali, matematika.
            “Sabar lah mi, mau kuliah dan sukses mana ada jalan yang mudah mi, sudah sering kita dinasehati oleh para guru bahwa bimbel adalah proses awal menuju perkuliahan yang nantinya kita dituntut untuk belajar lebih keras lagi”. Aku berusaha menasehati dan membangkitkan semangatnya.
            “Iya sih Dan, tapi kalo harus kaya gini, gue jadi males kuliah… puyeng pala gue”. Keluhnya.
            “Iya terserah lo deh mi, masa depan kan lo yang tanggung”. Aku pasrah karena tidak ada kata lain lagi yang bisa aku katakana untuk menasehatinya, karena dia sudah begitu kepayahan dalam belajar. Aku sempat meragukan dirinya takut-takut kalau dia minta keluar dari tempat bimbel ini.

#Bersambung (I) ...